Posted by : Viona Angelica
Saturday, 16 January 2016
(Cerita ini hanya fiktif belaka, bertema nggak jelas karena ini sebagai tugas sekolah, terima kasih)
Reader 1 : "Dari mana aja lo?"
Viona : "Jalan-jalan."
Reader 3 : "Ilang gak jelas, taun baru pun ga muncul sekedar hai kek,"
Viona : "Kenapa emang? Kangen ya ;;)"
Reader 3 : "Amit-amit.."
Reader 1 : "Ilang setaun pun geer nya tetep ga ilang juga ya..."
Viona : "Biar, lah."
When The Sun Goes Down
Hari ini aku kembali termenung di sebuah pantai sambil menanti matahari terbenam. Terlintas kembali kenangan yang tak akan kulupakan seumur hidupku.
Semuanya berawal kira-kira 11 tahun yang lalu, ketika aku masih berumur 4 tahun. Saat itu langit hampir gelap, aku masih asyik bermain pasir di pantai. Penjual-penjual di sana juga sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Tiba-tiba aku bertemu Romeo, sahabatku yang tak akan kulupakan, ia bukan seorang cowok, melainkan seekor anak anjing kumal.
Ia menjulurkan lidahnya hingga air liurnya menetes. "Hiiii... Anjing kotor dan menjijikkan!" kataku sambil cepat-cepat berlari menghampiri papa dan mamaku yang sedang duduk di kios dekat pantai.
Kami segera pulang ke rumah yang tidak jauh dari pantai. Saat tiba di rumah, aku dan mamaku langsung masuk ke dalam rumah, sedangkan papaku masih di luar memarkirkan mobil. "Rosa! Rosa!" panggil papaku.
Langsung saja aku keluar rumah dan menjawab, “Ada apa Papa?” kulihat ia tengah berjongkok disamping anjing jelek yang kulihat tadi.
"Papaa, jangan, anjing itu sakit! Nanti Papa tertular, ayo masuk Pa," kataku terkejut. “Mama! Tolong ambilkan makanan di mangkuk plastik ya?" kata Papaku tanpa memperdulikanku dan mengangkat anjing itu masuk. Tak lama setelah itu, mamaku datang sambil membawa semangkuk sup untuk anjing itu. Ia memakannya dengan sangat lahap. Sup kacang merah itu sudah habis sekejap mata. (MASA IYA ANJING MAKAN SUP KACANG MERAH)
“Lihat dia sekarang, sudah lincah seperti anak anjing lain.” kata papaku senang. “Lucu sekali anjing itu, kita pelihara saja dia ya?” kata mamaku. “Tidak mau! Anjing itu jelek!” cibirku tak senang. Setelah mendengar perkataanku, tiba-tiba anjing itu langsung berputar-putar mengelilingiku lalu duduk tepat di depanku sambil memperlihatkan matanya. “NGGAK MAU!” bentakku sengak.
Meski begitu, papa dan mamaku masih saja bersikeras memeliharanya. Bahkan, memberinya sebuah nama, yaitu Romeo. Aku tidak suka anjing itu, apalagi sikapnya yang suka caper di depan papa dan mamaku. Ia juga suka sekali meminta makanan yang kubawa, duduk di sebelahku saat aku tengah menonton tv, dan juga menggangguku saat bermain game.
Satu tahun berlalu dengan tidak menyenangkan, Romeo sudah tumbuh menjadi seekor anjing Rottweiler gagah, tapi sikap capernya, masih saja sama. Bedanya, aku mulai terbiasa dengan tingkah menyebalkannya itu dan menjalani saja semuanya, termasuk bila ia minta untuk diajak jalan-jalan menyusuri pantai hingga matahari terbenam. Sampa suatu hari, saat aku berjalan-jalan dengan Romeo di pantai, aku bertemu dengan dua orang pria besar menakutkan yang sepertinya ingin melakukan hal buruk padaku. Mereka sempat menggandeng tanganku namun untungnya Romeo menggonggong keras serta menggigit salah satu dari mereka, membuat mereka terkejut dan lari ketakutan.
Semenjak saat itu, aku dilarang keluar rumah tanpa pengawasan orang dewasa, bahkan mulai sekarang yang mengajak Romeo jalan-jalan di pantai adalah papaku. Setelah itu, baru aku sadar kalau mengajak Romeo jalan-jalan masuk dalam refreshing list ku. Dan aku juga baru sadar kalau aku mulai menerima Romeo sebagai anggota keluargaku.
Setelah berhari-hari dipenjara di rumah, akhirnya datanglah kesempatanku untuk bermain di luar, hari itu papaku sedang mengajak Romeo ke salon hewan, sedangkan mamaku sedang arisan, dan nenekku—yang ditugaskan menjagaku sedang tertidur di sofa. Dengan bodohnya kusahut jaketku lalu berlari keluar… Menuju pantai.
Setelah sampai di sana, aku langsung duduk di pasir dekat air laut untuk menantikan matahari yang kira-kira 30 menit lagi akan terbenam. Sesekali kupejamkan mata menikmati udara sejuk dan mendengarkan deru ombak yang sudah beberapa hari tak kudengarkan sambil menyusun sebuah istana dari pasir.
Tiba-tiba, mulutku disekap oleh seseorang. Aku segera diangkat dan dibawa lari olehnya. Aku terus berusaha menggigit tangan besar itu agar melepaskanku tapi berkali-kali juga luput. Baru setelah kesekian kalinya, tangan itu terbuka. Ternyata, penculiknya adalah 2 orang yang pernah digigit Romeo! Aku berlari sambil berteriak minta tolong. Namun suaraku tertelan oleh suara deru ombak. Aku berhasil kabur beberapa meter, tetapi penculik itu dapat dengan mudah menangkapku kembali.
Papa, Mama, Nenek, Romeo, maafkan aku, sepertinya kita tak akan bertemu lagi. Tuhan, tolong buatlah seseorang mendengar teriakanku tadi. Sekarang aku hanya bisa pasrah saat mereka membawaku.
Penculik itu menjatuhkanku ke pasir secara tiba-tiba sambil mengaduh kesakitan, ternyata Romeo kembali menolongku. Dia mengigit kaki penculik itu dengan ganas hingga si penculik kesakitan. Kalau Romeo di sini, berarti papa sudah di rumah, aku harus memanggilnya! Tapi Romeo, aku tidak bisa meninggalkannya. Aku segera melihat ke arahnya dan hendak menolongnya. Namun, entah bagaimana, ia seperti berteriak dalam gonggongannya, "Lari Tuan! Lari!" Akhirnya aku menuruti itu dan berlari pulang memanggil papa.
Setelah sampai didepan rumah, kulihat papaku. "Papa! Romeo papa! Romeo dalam bahaya! Ke pantai sekarang!" kataku sambil menarik tangan papa dan berlari ke pantai.
Penculik-penculik itu sudah pergi, namun, Romeoku... Dia.. Dia sudah terbaring lemas di pasir. Kepalanya mengeluarkan darah, matanya terpejam dan mulutnya menganga lebar. Aku langsung berlari menghampirinya dan menangis disebelahnya. Karena kesalahanku dia kehilangan nyawanya, karena aku dia mati, meski aku tak pernah memberinya perhatian dan kasih saying, ia tetap menyelamatkanku…
"Kau tahu kenapa Papa dan Mama melarangmu pergi? Itu karena, penculikan anak-anak kecil seumuranmu sedang marak terjadi, bahkan kau juga sempat hamper diculik kan?." kata papaku tiba-tiba.
Aku menangis semakin kencang dan saat itu matahari mulai terbenam. Itulah pemandangan matahari terbenamku yang terakhir bersama Romeo, pahlawanku. Sungguh suatu harga yang mahal untuk suatu ketidakpatuhan.