Posted by : Viona Angelica
Sunday, 14 February 2016
HAI HALO HAI HAI HAI!!!
Reader 1 : "Alay banget sih lo, jijik gue."
Reader 3 : "Baru tau ya kalo Viona itu Alay?" -_-
Viona : "Gapapa lah, sekali-sekali."
Reader 1 & 3 : "SEKALI SEKALI APANYAA!??"
Viona : "Bodo amat yang penting hari ini tanggal 14 Februari."
Reader 2 : "Valentine hanya mitos."
Reader 1 : "Apalah arti valentine buat kita yang jomblo."
Viona : "Bener juga lo :'v Ya gapapa deh, meski jomblo Valentine harus dirayakan! Apalagi ini hari Minggu! Happy Valentine semua!"
Oke, di hari valentine ini gue punya cerpen one shot lagi yang pernah gue bikin dan gue temuin barusan. Singkat cerita silahkan dibaca sendiri dan maap kalo jelek.
ETERNITY LOVE
Matahari sudah
hampir terlelap. Angin kencang namun bersahabat menerpa masuk dari jendela
kecil rumah bangsawan Eugene. Pohon-pohon rindang di depan jendela pun ikut
bergoyang menikuti terpaan angin. Suasana ini..., suasana yang saat ini
kurasakan..., mengingatkanku pada masa-masa yang masih tergambar teramat jelas
dalam pikiranku. Masa lalu yang mampu menggetarkan hati dan jiwaku. Masa yang
membawa kenangan indah sekaligus sedih bagiku.
Air mata tak
dapat tertahan lagi dari pelupukku, semua ini salahku... Salahku! Kalau saja aku tidak pernah kenal dengannya ini tak akan
terjadi. Kenapa aku harus datang padanya dan merenggut semua yang dimilikinya?
***
Semua ini
berawal pada hari pertama aku masuk SMA. Sebagai seorang anak yang sejak lahir
memiliki jantung lemah, aku tak bisa menikmati hidup normal layaknya orang
biasa. Tiap pergi ke taman hiburan, aku dilarang naik ini itu, aku juga
dilarang menonton film horror yang katanya bisa membuat jantungku berhenti
seketika, tetapi yang paling parah dan membuatku amat benci hidupku adalah,
tiap aku bertemu orang yang kucintai, pasti jantungku terasa sesak dan akhirnya
aku bisa mati terkena serangan jantung.
Sebenarnya
hidupku tidak terlalu sengsara saat kedua orang tuaku masih hidup, mereka
selalu menjagaku dari segala macam bahaya, mendengarkan keluh kesahku, dan
membiayai perawatan jantungku yang mahal, tetapi sayangnya mereka tidak dapat
menemaniku sampai usia kelima belas. Sejak saat itu hidupku berubah, rumahku
dijual untuk membiayai pemakaman ayah dan ibuku yang kelewat mahal, sedangkan
keluargaku yang lain hanya bisa bilang "Turut berduka cita." tanpa
membantuku sedikitpun. Memang sih ada sejumlah harta warisan yang diwariskan
padaku, tapi lama kelamaan kan itu bisa habis, jadi terpaksa sejak hari itu aku
mengambil beberapa kerja part time
sekaligus, berusaha mencari bea siswa, dan mengganti acara berobat rutinku,
dengan hanya meminum obat yang dianjurkan dokter seminggu sekali, walaupun ia
bilang yang kulakukan berbahaya, aku tak peduli, buktinya aku masih bisa
bertahan hidup dan memiliki tabungan yang bisa dibilang banyak.
Saat itu sedang
berlangsung bullying berkedok MOS.
Sekolah menyuruh anak-anak baru untuk meminta tanda tangan dari para setan eh
kakak OSIS. Memang kedengarannya mudah, tapi kemudahan itu tak berlaku di SMA
Tunas Bangsa alias sekolah yang baru saja kumasuki kemarin (lebih tepatnya
sekolah yang terpaksa kumasuki karena sekolah ini satu-satunya sekolah yang
memberiku fasilitas asrama gratis dan biaya sekolah hanya membayar setengahnya)
bila kami ingin mendapat tanda tangan, harus melakukan berbagai tantangan gila
dari semua kakak OSIS, mulai dari melakukan tarian konyol sampai membersihkan
kamar mandi pun dilakukan untuk mendapatkannya. (Padahal artis aja nggak sampe
segitunya kan?)
Tentu saja ada
suatu hukuman bila tak berhasil mendapatkan minimal dua puluh tanda tangan dari
dua puluh dua penjaga neraka tersebut, mengulang MOS tahun depan misalnya.
Well, here I go. Aku mendatangi seorang
kakak OSIS wanita berambut panjang yang tampak lemah lembut (Kata kebanyakan
orang sih wanita lebih baik daripada pria) "Kak, boleh minta tanda
tangannya?" Aku bertanya sesopan dan semanis mungkin sambil menyunggingkan
senyum termanis dari mulut kecilku.
"Boleh-boleh
aja, sini." Ia langsung memberikan tanda tangannya cuma-cuma padaku.
WOW! Awal yang
baik. Ternyata tak semua OSISnya jahat, untung saja aku bertemu dengan kakak
OSIS yang baik hati dan tidak berbelit-belit, batinku.
"Makasih
Kak." Kataku sambil menerima kembali buku panduan MOS yang telah diisi
olehnya.
"Sama-sama."
Ia menyunggingkan senyum dari wajah manisnya, tapi entah hanya perasaanku saja
atau memang senyuman itu perlahaberubah menjadi senyuman meremehkan bercampur
menahan tawa.
Karena penasaran,
kubuka bukuku pada halaman yang seharusnya sudah berisi sebuah tanda tangan
beserta nama terang cewek tadi. Namun ternyata yang tertuliskan pada kolom nama
adalah : "Loser!" Aku
mendongak untuk melihatnya agar bisa memelototi cewek bermuka dua itu. Namun ia
sudah bergabung dengan setan lainnya dan menertawaiku.
Dengan kening
berkerut, otot muka menegang dan tangan memegang bolpoin serta buku penuh emosi
aku berbalik dari hadapan mereka, dan berjalan menyusuri koridor di belakangku,
melanjutkan pencarian tanda tangan (yang kuharapkan) gratis.
Di hadapanku,
kudapati seorang cowok dengan tinggi kurang lebih 180 centimeter, dengan rambut kecoklatan hampir melebihi kerah yang
serasi dengan mata hitam kecoklatan dan kulit putih beserta wajah Asianya. Dilihat
dari caranya mengawasi sekitar, tubuhnya yang disembunyikan dibalik celah papan
pengumuman (yang artinya dia cukup kurus untuk menyelipkan diri di sana)
beserta senyuman jahil namun menawannya, ia sedang bersembunyi.
Aku tak percaya
menemuinya di sini! Orang yang sejak SMP kelas dua kutaksir, orang yang selalu
kupantau dari jauh, Orang yang selalu
melekat diingatanku tiap waktu dan menjadi mimpi-mimpiku tiap aku tertidur.
Tetapi teramat
disayangkan, seperti yang sudah kuceritakan diawal tadi (kalau kalian ingat)
aku tak bisa dekat-dekat dengannya atau jantungku akan berdebar-debar dan
akhirnya aku mati sakit jantung, jadi sebaiknya sekarang juga aku cepat-cepat
pergi dari sini.
"Oi! Lo...
Frida kan?" Tiba-tiba suara yang selalu membuat jantungku berdegub kencang
terdengar disertai sebuah sentuhan halus dipundakku.
"I-Iya
Kak." Aku menjawab takut-takut sambil berbalik sambil berharap kalau
penyakit jantungku tak kambuh.
"Eh
manggilnya Wilson aja kali. Nggak usah pake Kak, lagian kita kan udah kenal,
dari kelas delapan.” Ia tersenyum sangat manis hingga menggetarkan jantungku.
Sesaat, terjadi suasana hening diantara kami, namun ia segera melanjutkan,
"Lo butuh tanda tangan kan?"
Aku mengangguk
sambil mencoba untuk tak menatap wajahnya agar penyakitku tak kambuh di
saat-saat seperti ini. Namun ia malah mengulurkan tangannya dan merenggut buku
beserta bolpen dari tanganku dengan halus hingga bau harum khasnya tercium di
hidungku.
Pliss jantung,
jangan kambuh sekarang pliss, gue nggak mau cowok yang gue taksir tau kalo gue
penyakitan.
"Nih udah
gue tanda tanganin." Ia mengembalikan buku serta bolpoin padaku lalu
menyahut lagi, "Oh iya, kalo lo mau dapet tanda tangan lainnya gampang
kok, bilang aja ke mereka-mereka lo udah gue kasih tiket VIP yaitu tanda tangan
gue, kalo macem-macem laporin aja sama gue, biar gue yang hajar mereka
ya?"
"K-Kok bisa
gitu Kak—eh Wilson?" Aku berusaha menetralkan jantungku hingga tak bisa
berkonsentrasi sampai-sampai salah ngomong.
"Gue kan
ketua OSIS di sini, dan 'ttd' seorang ketua OSIS itu mahal, nggak gampang
dapetnya, bisa dibilang cuma gue kasih ke lo, Frida yang manis." Wilson
tersenyum polos seakan-akan perkataannya barusan bukanlah senjata mematikan
yang membuat jantungku sesak lagi.
"M-Makasih,
gue pergi dulu ya." Aku segera berlari dari tempat itu menuju kamar mandi
wanita. Aku membuka lebar bilik pertama kamar mandi yang kebetulan kosong dan
duduk di atas kloset duduknya.
Oh my gosh! Gue... Dada gue sesak! Kalian
nggak akan bisa membayangkan dan merasakan (kecuali kalian juga terkena
penyakit jantung yang parah sepertiku) sesakit dan sesengsara apa aku sekarang.
Entah apa yang kurasakan, ini seperti perasaan bahagia tapi menyakitkan.
Seandainya saja aku tidak dilahirkan seperti ini…
Aku melirik
benda bulat yang melilit tanganku. Benda itu menunjuk ke angka sebelas dan enam
menandakan waktu hukuman, er pulang sekolah tinggal setengah jam lagi dan tanda
tangan yang baru kudapat hanya satu, masih harus menemukan dua puluh satu orang
lagi dalam waktu kurang dari setengah jam dan dengan rasa sesak yang mungkin
akan kambuh kesekian kalinya sebentar lagi. Aku menundukkan kepala hingga
rambut hitam panjangku menutupi seluruh muka yang berubah kecoklatan karena
gosong. (tentu saja aku gosong, setiap hari aku berpanas-panas ria sih)
"Lo ngapain
duduk di sana tanpa ngelakuin sesuatu sih? Jangan-jangan boker di celana
ya?" Sebuah suara berat mengagetkanku dan membuatku mendongakkan kepala
secara spontan.
Kulihat Wilson
sedang berdiri di depanku, di depan bilik kamar mandi cewek, dengan tampang innocent, sambil meletakkan kedua tangan
di saku dengan santai. "Er... Gue tau lo penasaran kenapa gue lari-larian
tadi tapi..." Aku menggantungkan kalimatku di udara. Setelah beberapa
detik baru aku melanjutkan dengan volume sedikit diperkeras, "Ini kan kamar
mandi cewek!"
Ia hanya
terkekeh-kekeh sambil berkata, "Tenang aja, gue kan ketua OSIS."
Aku menatapnya
dengan tatapan plis-deh sambil menunggunya berhenti terkekeh, baru melanjutkan,
"Ketua OSIS juga nggak boleh ke kamar mandi cewek, bego."
Ia malah kembali
terkekeh hingga hampir jatuh tersandung tempat sampah kecil yang terletak di
dekat bilik kamar mandi. Beberapa saat kemudian, ia berkata lagi,
"Bercanda doang, habis lo lucu sih."
"Lucu
gimana?" Aku semakin tak paham dengan kelakuannya, atau jangan-jangan...
Di sekolah ini ketua OSIS bebas ngapa-ngapain? Kayak... Ah sudahlah, gue mikir
apaan sih?
"Ya lucu
aja, sini deh gue tunjukin sesuatu." Ia masih tertawa-tawa kecil sambil
menyuruhku keluar dari bilik.
Seperti anak
kecil yang menurut pada orang tuanya, aku berjalan menuju sisinya. Dan sekali
lagi, aku dapat mencium bau khasnya yang entah ia dapat dari parfum atau
pewangi baju atau memang bau badannya memiliki bau harum khas.
"Tuh, baca
yang keras dong." Ia menunjuk ke tanda di depan pintu kamar mandi. Aku
terkejut saat menyadari tanda yang tergantung di sana adalah gambar stick man cowok bertuliskan gents bukan stick man dengan gaun yang bertuliskan women.
"Eh, sorry-sorry gue salah masuk kamar mandi!
Habisnya tadi gue cepet-cepetan jadi salah masuk deh." Aku segera
melangkahkan kakiku menjauh dari tempatku berdiri.
"Tunggu
dong." Wilson memegang tanganku.
Deg...
Jantungku serasa
berhenti ketika merasakan sentuhan lembut dari tangan yang menggenggam tanganku
saat ini.
"Frid,"
panggilnya lirih. Saat aku hendak membuka mulut, kurasakan genggamannya makin
kuat, dan wajahnya, entah kenapa menampakkan raut serius. "Gue sama lo
udah kenal sejak lama kan? Inget nggak dulu pas kita pertama kenalan? Waktu lo
nggak sengaja salah masuk ruang ganti, sebelas-duabelas sama sekarang?"
Aku tak paham,
apa maksudnya mengatakan kalimat-kalimat itu? Tentu saja aku ingat, itu adalah
saat pertama aku merasakan jantungku terasa berbeda, saat pertama aku mulai
merasakan cinta, saat pertama penyakit jantungku kumat tanpa sebab. (Yah bisa
dibilang ini adalah love in first sight,
percaya nggak percaya, aku telah mengalaminya)
"Kok lo
diem aja?" Wilson menatapku dengan tatapan bingung.
"Nggak papa
sih, jelaslah gue inget, itu kan—" aku memotong kalimatku sebelum akhirnya
keceplosan dan menyatakan perasaanku padanya.
"Itu kan
apa Frid?" Ia menyadari perasaan terkejut yang tersirat di balik raut muka
datarku.
"Nggak
papa." Aku segera mengerjapkan mata dan mengubah raut wajahku menjadi emotion less seperti biasa dan
melepaskan genggamannya.
"Ya udah
deh, sebenernya tujuan gue nemuin lo di sini itu..." Ia menggantungkan
kalimatnya di udara sebelum akhirnya mengatakan sesuatu dengan lirih bahkan tak
dapat didengar.
"Hah?
Apa?" Aku memintanya mengulang perkataannya.
"Nggak papa
deh." Ia mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya padaku seraya tersenyum
sambil menjulurkan lidahnya. "Eh btw
lo masih harus ngumpulin tanda tangan kan?"
"Eh! Ya
ampun! Gue lupa!" Aku segera melirik jam pemberian ibuku yang terlilit di
tangan kiriku. "Aduh, waktunya tinggal lima belas menit lagi!"
"Sst,
tenang dulu, nggak usah panik." Ucapnya lirih sambil menepuk pelan
kepalaku. "Sini bukunya," ia kembali mendekat dan mengambil buku
beserta alat tulis dari tanganku dengan lembut. "Serahin aja sama gue, lo
tunggu di sini—eh jangan di aula aja."
"Eh jangan!
Nanti ngrepotin!" Seruku.
"Nggak papa
tenang aja." Serunya tak kalah keras dari suaraku barusan.
Okelah, terserah
apa katanya, lagipula aku cuma bisa pasrah dan menunggu kedatangannya kembali
di aula.
***
"Hei!
Jangan ngelamun aja, kesambet lho." Suara Wilson kembali mengejutkanku.
Aku segera membalikkan badan, mencari sosok tingginya yang mudah dikenali.
Namun ternyata, sosok itu tak ada dimanapun.
Apa aku berhalusinasi?
Aku membalikkan
kembali badanku, untuk menatap lapangan penderitaan. (Sebenarnya ini cuma
lapangan biasa, hanya saja.., lapangan itu dipenuhi dengan anak-anak baru yang
sedang diberi ‘tugas’ oleh para setan penunggu sekolah ini)
"Gue
dikacangin." Suaranya terdengar kembali, namun kali ini aku yakin kalau
suaranya berada di atasku.
Kudongakkan
kepala dan mendapati Wilson berada di balkon lantai dua yang terletak tepat di
atas kepalaku.
"Dan karena
gue dikacangin, gue mau lompat dari sini aja deh." Tiba-tiba ia menghilang
dari penglihatanku dan sesaat kemudian, sosoknya sudah melompat dari balkon.
"Jangan!"
Teriakku kaget. Aku sudah berusaha mencegahnya tapi..., tapi...
Dia tetap melompat.
Apa dia sudah
gila? Masa hanya hal sebegitu sepele dia bunuh diri?
"Nyariin
siapa?" Sebuah suara yang membuat jantungku hampir berhenti berdetak
terdengar dari balik tubuhku.
"Wilson!
Kok lo... Kok—“
"Kalo ketua
OSIS nggak bisa ngelakuin itu, akan jadi apa sekolah ini?" Dan dengan santainya
seolah tak terjadi apa-apa ia malah memberiku sebuah quote aneh. "Nih, udah diisi sama temen-temen gue.”
"M-Makasih."
Suaraku terdengar bergetar. Kuraih buku itu dari tangannya perlahan-lahan. Aku
tak menyangka Wilson bisa melompat dari sana dan akhirnya selamat.
"Udah nggak
usah dipikirin! Jaraknya itu pendek kok, lagian kaki gue kan panjan." Ia
tersenyum manis sambil meletakkan kedua tangannya di belakang tengkuk. "Oh
iya, soal tadi yang mau gue omongin..." Ia kembali menggantungkan
kalimatnya di udara dan wajahnya kembali memerah.
"Kenapa?"
Tanyaku tak sabar. Jangan-jangan dia mau bilang kalau suka padaku? Ahh tak
mungkin! Aku jangan terlalu berharap pada Wilson deh lagipula dia kan ganteng,
tajir, pasti banyak yang naksir. Apa coba yang kuharapkan, memangnya ini novel?
"Itu
tentang—“ ia kembali mengulur-ulur kalimatnya.
Tiba-tiba aku
merasakan rasa pusing yang tak terelakkan. Nafasku sesak, rasanya dunia
berputar mengelilingiku dan bayangan Wilson pun turut berputar di hadapanku.
Napasku sesak, dadaku terasa terbakar, kupikir ini adalah akhir dari seorang
gadis penyakitan yang selalu berusaha bertahan hidup menentang arus kehiudpan.
Haha… Memangnya apalagi yang kuharapkan dari dunia fana ini?
***
Tiba-tiba aku
melihat sebuah cahaya putih. Cahaya itu bersinar sangat terang dan lama
kelamaan aku dapat merasakan kembali tubuhku. Aku mengedarkan pandangan ke
sekeliling ruangan, lalu baru kusadari
kalau aku ada di salah satu kamar rumah sakit.
"Oh kau
sudah bangun?" Sebuah suara mengejutkanku.
Aku menengokkan
kepala ke sumber suara, berharap yang mengatakan hal itu adalah Wilson. Namun
yang kulihat adalah seorang pria separuh baya berjubah putih yang berjalan
menuju ke arahku.
"Kau
beruntung memiliki pacar sepertinya." Ia kembali mengatakan kalimat yang
sama sekali tak kumengerti.
"Pacar?"
Aku membeo sambil berusaha bangkit.
"Jangan
duduk dulu, jahitanmu belum sembuh total." Dokter itu mengambil remote yang terletak di sebelahku untuk
mengatur kasur yang sedang kutiduri lebih naik dibagian kepalanya agar aku bisa
berada di posisi setengah duduk setengah tidur.
"Jahitan?"
Lagi-lagi aku membeo seperti orang ling-lung amnesia yang tak tahu apa-apa.
Tapi tentu saja aku yakin kalau aku tidak amnesia.
"Ini surat
dari pacarmu." Dokter itu menyerahkan kertas polos yang terlipat rapi
padaku dan melanjutkan, "Kondisimu tadinya sangat kritis. Kami memerlukan
donor jantung untukmu segera saat itu." Ia menghentikan kata-katanya
membuat jantungku berdegub kencang namun anehnya tak ada lagi rasa sesak pada
jantungku. "Dan kau beruntung mendapatkan satu, jantung yang sangat sehat
tentu saja."
Tanpa banyak
bertanya lagi aku menyahut surat itu dari tangannya karena penasaran siapa
'pacar' yang dia maksud.
To : My Dearest Frida
Hey Frid, kenapa lo nggak pernah cerita sama
gue soal penyakit jantung itu? Tapi udahlah lagipula semuanya udah telanjur,
gue lakuin ini atas keinginan gue sendiri jadi lo nggak perlu menyesal
nantinya. Ya?
Gue mau lo tetep hidup bahagia, gue mau lo
gantiin posisi gue sebagai anak sekaligus penerus keluarga Eugene. (Tenang aja
gue udah ngomong ke bokap-nyokap gue kok :P)
Oh iya soal yang mau gue omongin itu tentang
perasaan gue ke lo, gue nggak peduli kalo ternyata lo nggak suka sama gue, gue
nggak peduli kalo lo jadi milik orang lain, soalnya cinta gue ke lo itu baru
akan pudar saat si buta melihat si lumpuh berjalan menghampiri panggilan dari
si bisu yang juga didengar oleh si tuli. (Alias nggak akan perna pudar,Btw
quotenya lucu ya? :p)
Udah gitu aja. Eh, jantung gue, lo rawat
baik-baik ya Frid? Jangan disia-siain lho, awas kalo disia-siain gue
gentayangin lo.
From, Eugene Dewilson
Saat itu pula,
jantungku terasa seperti dihunus beribu-ribu pedang. Aku tak tahu harus
mengatakan apalagi, air matapun merintik begitu saja dari pelupukku, aku hanya
bisa menangis tersedu-sedu di atas kasur sambil memegang surat dari Wilson yang
terkena beberapa tetes air mataku.
Bagaimana dia
mau mengorbankan jantungnya untukku? Padahal dia belum tau bagaimana perasaanku
padanya. Bagaimana surat ini dibuat begitu tampak bahagia? Padahal aku tahu
pasti ia menulisnya dalam keadaan sedih, bagaimana tidak? Nyawanya sebentar
lagi akan melayang! Bagaimana bisa dia menyerahkan seluruh kehidupan
menyenangkannya padaku?
Namun tiba-tiba,
jendela kamar itu terbuka secara misterius, angin kencang namun menenangkan
masuk ke dalam membuatku entah kenapa merasa nyaman. Pohon-pohon yang
melambai-lambaipun terlihat seperti penari balet yang lihai. Entah kenapa
rasanya nyaman sekali dan entah bagaimana aku berhenti menangis.
***
Sampai sekarang
pun, saat aku sudah hidup sebagai Eugene Elfrida menggantikan Wilson,
pertanyaan demi pertanyaan itu belum terjawab, namun aku tahu kalau Wilson tak
ingin melihatku menangisi kepergiannya. Aku tahu pasti kalau dia menyuruhku
untuk tersenyum dan melalui hari-hariku dengan gembira. Aku pun tahu kalau ia sedang
mengawasiku di sana menjadi penjaga rahasiaku.
"Eugene Dewilson,
orang yang paling kucintai, aku sama sekali tak tahu apa yang kau pikirkan saat
itu, tapi terimakasih atas semuanya. Dan, biarlah perasaan bersalah ini terus
menghantuiku sampai mati sebagai tanda kecintaanku padamu."