Reader 1 : "Wow! Author yang lama hilang kini kembali pulang."
Reader 2 : "Dari mana aja, lo?"
Viona : "Ya maap, kemarin-kemarin nggak ada bahan yang mau diomongin jadi terpaksa off dulu."
Reader 3 : "Kalo nggak niat ngga usah ngeblog."
Viona : "Kan uda minta maap tadi :'( Daripada marah-marah nih ada serial romance baru."
Reader 1 : "Paling juga nggak abis lagi kayak CLM, mogok ditengah jalan, kan nggantung."
Viona : "Didoain sama-sama aja biar nggak ogok tengah jalan, yah."
Reader 3 : "Halah..."
Viona : "Bercanda, pasti tuntas kok. Baca aja."
(Peringatan : ekspektasi kadang tidak sesuai realita. Cerita berikut mungkin saja tidak seindah ekspektasi Anda, apalagi cover sementarannya yang asal-asalan buatnya cuma biar gambar di depan nggak keliatan kosong :p)
Irony Before Me
PROLOGUE
Aku
terbangun di ruangan gelap gulita dengan posisi berbaring di atas matras keras
dan dingin. Pasukan berjubah hijau muda mengerubungi tubuhku seakan berebut
untuk memakanku hidup-hidup. Mereka mengenakan penutup kepala dan masker
berwarna putih kehijauan sehingga aku cuma bisa memandang kedua mata mereka.
Selang
masih menancap di hidungku, menyekokiku dengan angin. Selang lain menusuk
tanganku, menyambungkannya dengan wadah plastik berisi cairan kebiruan yang
digantung di dekat tubuhku. Benda hitam tertempel di dadaku, menyambungkannya
dengan televisi yang hanya menampilkan garis diagram hijau terang di atas warna
hitam.
Aku
tak ingat apa pun, sama sekali.
“Selamat
datang kembali, Dik.” seorang dari kelompok itu melepaskan maskernya dan
tersenyum padaku.
Aku
hanya bisa menatapnya dengan mata beloku dalam diam. Karena aku tidak cepat
bereaksi, seorang wanita berpakaian serba putih dengan topi aneh bertanda plus hijau
di tengahnya mencopot semua alat di tubuhku—kecuali selang di tanganku, lalu mendorong
matras dan tiang yang digantungi cairan kebiruan itu keluar dari ruangan.
Begitu
cahaya merasuk dalam mataku, ingatan langsung terputar kembali di otakku. Namaku
Emma, aku lahir dengan kedua ginjal lemah sehingga harus bolak-balik ke rumah
sakit untuk cek kesehatan dan terkadang cuci darah. Selang, suntik, dan jarum
seakan sudah menjadi sahabat karibku.
Suatu
hari perutku terasa terbakar. Rasa sakit menjalar dari perutku ke seluruh
tubuhku, hingga membuat napasku tersengal-sengal. Perlahan-lahan mataku terasa
berat. Aku tau pasti hari itu juga aku tidak akan selamat, sehingga aku cuma
bisa memaksakan seulas senyum lemah pada kerabat yang hadir untukku saat itu. Hal
terakhir yang kudengar hanyalah suara tangis ibuku yang pecah di tengah-tengah
suara panik yang mengatakan, “Kita perlu donor ginjal!”
“Emma!”
panggilan ibuku membuyarkan lamunanku.
Wajah
cantiknya tampak sayu. Rambutnya diikat satu sekenanya. Matanya merah dan
berkantung. Hidungnya berair. Ia masih terisak. Di sebelahnya hadir ayahku.
Wajahnya yang selalu menampilkan ketegasan juga melembut. Ia menatapku dengan
kedua mata cokelatnya yang kuwarisi. Aku lagi-lagi cuma bisa memaksakkan seulas
senyum pada mereka sebab tubuhku masih terasa lemas.
“Dia
akan segera membaik.” kata suster yang tengah mendorongku.
Cuma
butuh waktu semenit untuk kembali ke ruang serba putih sebesar kamar tidurku.
Aku dipindahkan ke kasur empuk yang bisa digerakkan dengan remote. Doggie, boneka
anjing kesayanganku sudah menunggu di atas meja sejak tadi. Potongan-potongan jeruk
yang belum sempat kuhabiskan juga masih ada di atas meja. Senang rasanya bisa
kembali.
“Jangan
seneng dulu.” sebuah suara yang sama sekali tidak familiar terdengar dari balik
pintu seakan membaca pikiranku.
“Oh,
Gilbert! Masuk-masuk.” ibuku langsung buru-buru membukakan pintu untuknya.
Kedua
orang tuaku tampak sibuk menyambut sosok di balik pintu itu.
Tak
lama kemudian, masuklah seorang anak laki-laki seumuranku yang mengenakan kaos
putih dilengkapi rompi cokelat muda dan celana panjang yang senada dengan
rompinya. Rambut hitam berponinya disisir ke samping, menirukan artis-artis
ternama. Mata hitam kecokelatannya yang sipit mencorong menatapku tajam seakan
hendak memangsaku hidup-hidup. Alis tebalnya bertaut saat ia menyilangkan
tangan di depan dada. Dari awal saja aku sudah merasa tidak cocok dengannya. Aku
tidak akan mau berteman dengannya, tidak akan pernah.
“Mama,
siapa dia?” tanyaku sambil mengalihkan pandangan ke ibuku yang berdiri di
sampingnya.
“Gilbert
Oswald, orang yang kamu ambil ginjalnya.” sahut cowok itu sewot tanpa mengubah cara
pandangnya.
“Oh,
makasih.” kataku tanpa menemui matanya.
“Nggak
usah seneng dulu, di dunia ini nggak ada yang gratis. Mulai sekarang, kamu harus jadi temenku, Emma Cornelia.” selepas
kalimat itu meluncur dari bibir tebalnya, neraka hadir dalam hidupku.[]
Let's go to [
Satu]
[Dua] [Tiga]