Posted by : Viona Angelica
Saturday, 15 October 2016
Reader 1 : "Katanya weekly post. Telat terus nih authornya."
Viona : "Ya maap, sini kan sibuk gitu shooting '3'
Reader 3 : "Sok ngartis lo, jijik gue."
Reader 2 : "Shooting apaan?"
Viona : "Buat tugas sekola doang, sih. Tapi lama banget jadinya ;-;"
Reader 1 : "Pasti ga mutu ceritanya."
Viona : "Fine, kalo lo bilang Stacy ga mutu gapapa sih, kali aja ntar malem--"
Reader 1 : "Eh, mutu banget kok, mutu. Pis..."
Back to [Prologue]
Reader 1 : "Katanya mau ganti cover."
Viona : "Berisik, gue panggilin Stacy nih."
SATU
-Enam
tahun kemudian-
Piip… Piip… Piip…
Alarm
di samping kasurku membuatku terjaga dari tidur lelap. Kubuka sebelah mata
untuk mengecek keadaan sekitar.
Keadaan
masih gelap gulita, sama sekali tak ada cahaya yang masuk menembus ventilasi
jendela yang ada di dinding atas kepalaku. Kulirik alarm di atas meja, benda berbentuk
jamur itu menunjukkan angka enam dan tiga puluh.
Aneh,
sudah jam segini kenapa matahari belum muncul, ya?
Tapi
biarlah, aku hanya perlu waktu lima menit untuk mandi, lima menit untuk
berkemas, dan lima menit lagi untuk pergi ke sekolah. Aku juga bisa membawa
sarapanku ke mobil, jadi aku masih punya banyak waktu. Kumatikan alarm yang masih meraung-raung bising
dan kembali tidur.
“Woi!
Mau sampe kapan lo tidur?” suara lain membuatku kembali terjaga.
Aku
membuka sebelah mata lagi hanya untuk mendapati seorang tengah cowok setinggi
180 centimeter berjongkok di depan lemari pakaian kayu yang ada di samping
kasurku sambil memasang tampang tanpa dosa. Ia sudah mengenakan seragam putih
abu-abunya dengan kancing kemeja paling bawah sengaja dibiarkan terbuka seperti
biasa. Rambutnya yang dipotong model two
block sudah tergel ke atas dengan
indah.
“Lima
menit lagi, plis.” erangku malas.
“Lima
menit lagi udah bel masuk sekolah, lho.”sahutnya santai.
“Yayaya…”
Aku kembali mengerang malas sambil berguling membelakanginya. Begitu kalimat
itu benar-benar tercerna dalam otakku, aku baru berseru nyaring, “LIMA MENIT
LAGI!?”
Gill
hanya terkekeh. “Makanya bangun!” serunya sambil menimpuk tubuhku dengan guling
di hadapannya.
“Kok
lo nggak bilang daritadi, sih?” omelku masih dengan suara serak khas orang
bangun tidur sambil berdiri dalam satu sentakan. “Minggir!” seruku sambil
membuka lemari pakaian yang ada di belakang Gill.
Kuraih
handuk dan baju seragam yang sudah tergantung rapi di dalam, lalu bergegas ke
kamar mandi.
Tunggu.
Mungkin
kalian bingung kenapa Gill bisa ada di kamarku pagi-pagi buta tanpa kena amuk orang
tuaku ataupun dituduh memperkosa gadis belia di bawah umur, atau semacamnya.
Bukan,
bukan.
Bukan
berarti kami sudah dijodokan atau ditunangkan seperti sinetron-sinetron alay di
layar kaca. Lebih tepatnya kami sudah dianggap sebagai saudara sehingga keberadaannya
di kamarku beberapa pagi sekali sudah jadi hal lumrah bagi kami semua. Sejak
aku sudah secara resmi menjadi ‘temannya’ waktu masih berumur sepuluh, kepercayaan
penuh diberikan dari orang tuaku pada Gill. Sampai-sampai ia diberi kunci
cadangan rumah kami untuk berjaga-jaga kalau ada keadaan darurat. (Meski
sebenarnya kunci itu malah disalah gunakan untuk hal yang tidak-tidak, menggangguku
setiap pagi, misalnya.)
Semenjak
kami saling kenal, ia juga mengupayakan segala cara untuk bisa satu kelas
denganku. Entah cara apa yang ia gunakan, (Kuduga ia menyogok sekolah karena ia
berasal dari keluarga kelewat tajir) cara itu selalu berhasil setidaknya selama
lima tahun terakhir. Sayangnya, hidupku teramat jauh dari cerita novel romansa—berkebalikan,
malah. Segala upaya itu ia laksanakan hanya untuk mengerjaiku habis-habisan dan
mempermalukanku di depan semua orang sampai aku tak perlu lagi menjaga image di depan anak-anak.
Setelah
membasuh diri, aku menyahut sikat gigi dan sisir dari rak. Kutatap wajahku di
depan cermin sejenak. Alis hitam pekat yang cukup tebal tergaris di atas mata cokelat
kehitamanku. Hidungku tidak mancung-mancung amat, dan bibirku juga tipis,
layaknya anak-anak cewek pada umumnya. Kuiltku putih pucat dengan beberapa
titik hitam di sekitar hidung. Yep, muka pasaran yang sama sekali tidak
menarik.
Kuhela
napas panjang, lalu kusisir rambut sepinggangku yang kecokelatan sambil
menyikat gigi. Saat itulah aku menyadari kehadiran semburat tak wajar di ujung
rambut sebelah kananku.
Ini
pasti ulah si setan.
Kuangkat
rambutku untuk melihat lebih jelas. Benda itu sangat rekat seakan tak dapat
dipisahkan lagi dari rambutku. Sialan! Gill menempeli rambutku dengan permen
karet!
“GILLL!”
teriakku masih dengan sisa odol menempel di mulut.
Aku
segera berkumur, lalu kembali ke kamar hanya untuk mendapati jam digitalku telah
menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh. Gill sudah tidak ada di sana, barangkali
sudah ongkang-ongkang kaki di kelas, atau menyiapkan jebakan lain di lantai
bawah.
Aku
mengerang frustasi sambil menyahut gunting dari laci.
Kress…
Kupotong
bagian rambutku yang terkena permen karet tanpa ragu. Sayangnya bagian yang
terpotong cukup banyak, jadi aku harus memotong bagian lainnya sama rata. Kalau
Seandainya kalian belum pernah memotong rambut sendiri, kuberitahu saja sekarang.
Memotong rambut sendiri tidak semudah yang kita semua kira.
Dengan
asumsi bahwa memotong lebih banyak rambut bisa menyebabkan kebotakan permanen,
akhirnya kuikat rambutku ke belakang dengan karet seadanya.
Bagus,
aku mulai kehabisan waktu.
Setelah
memastikan penampilanku tidak seberantakan yang kukira di depan cermin, kusahut
ransel hitamku dari rak dan menggendongnya turun. Begitu sudah menapakkan kaki
di lantai satu, emosiku kembali memuncak. Lampu di ruang utama masih belum
dinyalakan, semua ruangan masih gelap gulita. Orang tuaku belum keluar dari
kamarnya, mungkin masih mendengkur dengan damai dan bahagia. Jam dinding masih
menunjukan pukul ENAM pagi
Yap,
aku dikerjai lagi.
“Accessories rambut yang gue kasih kok
nggak dipake?” Gill mencicit dari ruang makan.
“Sialan,
lo!” umpatku sambil melempar tas yang kubawa ke arahnya.
“Siapa
suruh punya rambut kepanjangan, lo pikir Rapunzel,
apa?” Ia menangkap tas itu hanya dengan satu tangan.
“Rambut
juga rambut gue kok elo yang repot.” aku berhenti untuk merebahkan diri di sofa terdekat. “Jadi, tujuan lo bangunin
gue sepagi ini apa?”
“Biar
lo nggak kayak kebo.” lagi-lagi ia memasang wajah tanpa dosa lengkap dengan
kedua tangan diletakkan di bawah dagu menirukan gaya girlband cherrybelle.
Aku
menghela napas panjang sebelum menutup mata dengan satu lengan. Andai saja ada
orang lain yang mau mendonorkan ginjalnya saat itu, aku pasti tidak perlu berurusan
dengan iblis satu ini.
“Jadi,
lo mau tidur lagi?” ia bercicit lagi minta digampar.
Aku
hanya diam di tempat, berpura-pura tidur agar ia berhenti menggangguku. Suasana
berubah hening selepas itu. Saking heningnya, aku bahkan bisa mendengarkan
degup jantungku sendiri.
Keheningan
ini terlalu janggal. Seorang Gilbert Oswald tidak akan bisa diam di tempat
tanpa berulah sedikit pun. Kuangkat lenganku untuk memastikan Gill tidak sedang
ayan dan muntah busa di lantai.
“Lo
ngapain, tuh?” tanyaku saat melihatnya meraih sesuatu dari dalam lemari.
“Nggak
ngapa-ngapain, kok.” Ia segera menyembunyikan tangannya di belakang punggung
sambil memasang senyum polos.
“Nggak
ngapa-ngapain.” Ulangku sarkastik sambil memutar bola mata.
Aku
segera bangkit dari sofa dan
mendatanginya. “Apaan tuh yang di belakang badan lo?”
“Bukan
apa-apa, kok.” ia mengangkat kedua tangannya ke atas untuk meyakinkanku.
Aku
sudah lama mengenalnya dan segala perangai buruknya. Dia terlalu naif kalau
berpikir bisa menipuku dengan tipuan anak SD semacam itu.
Dengan
sigap kuulurkan tangan untuk merogoh saku celananya. Kutemukan foto masa
kecilku dimana aku sedang menangis sesenggukan sambil membawa doggie di tangan. Aku mengenakan piama
bermotif beruang, hidungku mengeluarkan ingus dan rambutku tampak seperti Dora
kesasar. Pasti dia mau membroadcast
foto ini ke semua anak di sekolah.
“Nggak
ngapa-ngapain.” sekali lagi aku mengulang kata-kata itu sambil melirik sinis ke
arahnya.
“Oke-oke!
Jangan ngamuk gitu, dong.” protesnya sambil mengangkat bahu disertai senyum
jahil khasnya.
“Minggir!”
kubuka kulkas di belakangnya, lalu kuteguk sebotol susu vanilla sambil berjalan ke meja makan.
Kuraih
dan kukunyah sepotong roti tawar dengan santai sambil memandangi cowok itu.
Ia
tengah membenarkan rambutnya di depan cermin kamar mandi sambil menaikkan kedua
alis sok keren. Kulitnya cerah, tapi tidak pucat sehingga memberikan kesan
terawat dan bersih. Seandainya saja dia tidak resek bagai iblis, aku pasti
sudah menjadikannya tambatan hati seperti kebanyakan kaum hawa lain.
“Jangan
natap lama-lama, ntar naksir lho.” sindirnya.
“Ngapain
juga naksir cowok brengsek macam elo.” dengusku sambil membuang muka.
“Kalo
makan nggak boleh sambil ngomong.” katanya lagi tanpa menghentikan
aktivitasnya.
Kuhela
napas panjang, lalu memungut tasku yang tergeletak di lantai.
“Loh,
Emma udah siap-siap?” terdengar suara serak ibuku dari kejauhan.
“Gara-gara
itu tuh! Cowok resek sok keren di kamar mandi.”
“Pagi,
Tante.” sapanya sok sopan.
“Kamu kok makan sendiri?” ibuku menghampiriku.
“Gill
udah makan, kok.” sahutku acuh tak acuh.
“Nggak
usah repot-repot juga Tan, lagipula bentar lagi udah mau berangkat kok.”
Kuletakkan
botol bekas susuku di atas sofa, mengelap mulut dengan tangan, lalu berpamitan,
“Emma berangkat dulu ya, Ma.”
“Iya,
ati-ati. Tumben banget berangkat jam segini.” katanya heran.
“Pergi
dulu, Tan.” kata Gill sambil membukakan pintu depan untukku sok gentle.