Posted by : Viona Angelica
Friday, 4 November 2016
Hai-hai! Gima—
Reader 1 : "LO UDAH TELAT DUA MINGGU OI."
Reader 3 : "Weekly post apaan coba, basi."
Viona : "Maapkan hoks T^T Episode kali ini diperpanjang kok, sabar ya. Sekalian mau ngumumin kalo post-postannya updet kalo nggak Jumat/Sabtu/Minggu."
Reader 1 : "Apa iy weekly post."
Viona : "Diusahakan, maapkan daku, sekolah belakangan ini sibuk banget T^T Bikin laporan terus. #Curhat
DUA
Kuulurkan
kaki untuk turun dari mobil porsche hitam
milik Gill. Seperti biasa, banyak anak-anak gadis yang melirik ke arah kami—kuralat,
maksudku ke arah Gill. Mereka memang melirik
Gill dengan tampang sok cantik tapi melirikku sinis seakan aku menjadi
cumi-cumi yang menempel di pujaan hati mereka.
“Tunggu
apalagi?” Gill berjalan ke sampingku sambil menyandang ranselnya di satu bahu dengan
gaya sok keren.
Aku
hanya memutar bola mata, lalu menyusulnya untuk berjalan beriringan menuju
gedung sekolah. Sesekali dapat kudengar anak-anak cekikikan dari kejauhan,
namun ketika aku berbalik, mereka semua diam. Apapun itu, pasti ada yang aneh
dariku pagi ini. Jangan-jangan mereka menyadari potongan rambutku yang tidak
rata, atau Gill sudah telanjur menyebarkan foto aibku ke semua anak seperti
yang ia lakukan tahun lalu, atau…
Deg…
Seseorang
memegang punggungku dengan tiba-tiba membuatku berbalik dan bersiap membantingnya
dengan jurus tae kwondoku. Tapi niat
itu terbatalkan ketika aku melihat yang berdiri di belakangku adalah seorang
cowok bertampang bule. Ia tengah memegang secarik kertas yang tampaknya baru ia
lepas dari punggungku. Rambutnya benar-benar pirang, panjangnya pun cukup untuk menutupi mata biru
kehijauannya. Meski rambutnya kepanjangan, ia tidak tampak berantakan, malah rambut
itu menghadirkan suatu aura yang memikat. Bibir dan alisnya tebal, ia beberapa
centi lebih tinggi dari Gill yang sudah di atas rata-rata. Aku berani bersumpah
aku belum pernah melihat cowok ini di sekolah. Tidak mungkin kan orang setampan
ini luput dari pandanganku?
“Lain
kali hati-hati.” ia melirik Gill sebelum memberikan kertas itu padaku dan masuk
ke dalam gedung sekolah.
Pada
kertas sobekan itu tertulis dengan spidol besar-besar, “BELUM MANDI.” Tak salah lagi, ini pasti ulah usil Gill lainnya.
“Dasar
cowok sinting perusak kesenangan orang.” dengus Gill sambil mencibirinya dari
belakang.
“Dasar
cowok brengsek perusak nama baik orang.” balasku dengan nada persis sama sebelum
buru-buru menaiki tangga untuk segera ke kelas.
“Apa
lo bilang tadi?” ungkitnya sambil menghempaskan pantat ke kursi di sampingku.
“Emang
gue bilang apa?” tanyaku sok polos mengikuti gaya bicaranya.
“Itu
tadi yang di depan, ulangin nggak?” ancamnya.
“Apa,
sih?”
“Itu
lho, lo bilang gue cowok brengsek perusak masa depan.” nadanya meninggi.
“Loh,
lo pikir itu buat lo?”
“Emangnya
bukan?”
“Ya
kalo lo ngrasa, yaudah deh, buat lo. Dasar cowok brengsek perusak masa depan.”
“Tapi
kan—“ perkataannya terpotong oleh bel masuk sekolah yang berdering nyaring.
“Sst…
Udah bel tuh, jangan ribut, plis.” kataku dengan senyum penuh kemenangan.
“Selamat
pagi Anak-Anak.”
Yep,
Bapak wali kelas kami tercinta yang selalu tepat waktu sudah datang.
“Pagi,
Pak…” kami menyahut berbarengan dengan nada malas.
“Kalian
ini, masih pagi kok sudah loyo! Bapak yang belum sarapan saja semangat empat
lima gini, masa kalian anak-anak muda malah loyo? Apa kata dunia?” ujarnya.
“Masih
pagi gini kok Pak Har udah ceramah ya? Apa kata dunia?” Gill menyahut dengan
nada yang dibuat-buat sambil memalingkan wajah ke arahku.
“Apaan
sih, lo.” timpalku sambil memutar bola mata.
“Gilbert,
jangan kira Bapak tidak dengar perbincangan kalian, ya?”
“Oh,
maaf, Pak. Nggak bermaksud.” ujarnya sambil menaikkan kedua kaki ke atas meja.
“Kamu
mau turunin kaki kamu sendiri, atau Bapak yang turunin?”
“Bapak
aja deh. Eh jangan deng, biar saya
aja.” katanya sambil menurunkan kaki dan memasang senyum menantang.
“Sudah!
Hari ini saya biarkan kamu! Bisa habis jam perwalian saya cuma buat nyeramahin anak
kurang ajar kayak kamu!” Pak Har menghela napas panjang sebelum melanjutkan,
“Hari ini kelas kalian kedatangan anak baru. Tolong jaga perilaku kalian sama
anak baru ini, ya? Terutama kamu, Gilbert Oswald.”
“Yaya
Pak, kan saya cuma bercanda tadi.” Gill lagi-lagi memasang senyum sok polos
yang membuat semua pasang mata tertuju ke mejaku.
“Zane,
kemari!” panggilnya pada sosok di balik pintu kelas.
Begitu
sosok itu masuk ke dalam kelas, aku bisa merasakan jantungku berhenti selama
sedetik singkat. Si anak baru yang disebut-sebut itu adalah cowok bule yang kutemui
di depan sekolah tadi—atau si cowok sinting perusak kesenangan orang kalau Gill
yang menyebutnya. Begitu ia melenggang santai ke dalam kelas, seluruh gadis
(kecuali aku) langsung ricuh. Yep, perilaku kampungan mereka memang tidak bisa
dihilangkan.
“Eh!
Ada si cowok sinting perusak kesenangan orang.” Gill langsung berseru nyaring
sambil kembali menaikkan kaki ke atas meja sok bossy membuat seluruh pasang mata teralih padanya.
Zane
hanya melirik sinis ke arahnya lalu membuang muka.
“Sukurin,
dikacangin.” bisikku sambil terkekeh.
“Sial—“
“Gilbert! Apa yang tadi saya bilang? Sekali lagi kamu bikin onar, saya suruh
ngepel lapangan!” potong Pak Har
“Sebenernya
lapangan nggak bisa dipel, tapi maaf deh, Pak.” sahutnya sambil menurunkan
kaki.
“Nah,
Zane, perkenalkan dirimu.” pinta Pak Har sambil melangkah mundur, mempersilahkan
Zane berdiri di tengah kelas.
“Aku
Zane Axton, blasteran Inggris yang baru pindah dari London. Dan kalo ada yang
nanya, rambutku alami pirang,” katanya sambil melirik Pak Har, seakan
penjelasan itu ditujukan khusus untuknya.
Lucu
rasanya mendengar logat ke-Inggrisannya, apalagi dia menggunakan kata “aku-kamu”,
tak terasa senyum terukir dengan sendirinya di bibirku.
“Gitu
doang?” bisik Abi dengan nada kecewa sambil menoleh ke arahku.
Mata
hitam pekatnya sesekali melirik Gill yang menjadi penghalang di antara kami.
Aku
cuma mengangkat bahu sambil menyunggingkan senyum.
“Bagi
yang mau tanya, silahkan.” kata Pak Har seakan mendengar pembicaraan kami.
Hampir
seluruh anak cewek di kelas langsung mengangkat tangan, berebut memberikan
pertanyaan padanya. Biar kutebak pasti salah satunya akan menanyakan “Udah
punya pacar ato gebetan belum?”
“Maaf,
aku nggak nerima pertanyaan lebih lanjut.” jawab Zane sambil berjalan ke arahku.
Ia
menarik kursi paling pojok belakang—tepat di belakang tempat dudukku—dan duduk
di sana. Suasana kelas mendadak hening, seluruh pasang mata menatap Zane, setengahnya
kagum, setengah yang lain tidak senang.
“Kamu
cewek tadi pagi, kan?” Ia tiba-tiba menyeletuk setelah kelas kembali ricuh.
“Eh,
iya. Makasih soal tadi ya.” ucapku canggung.
“Iya,
sama-sama.” Gill menyahut tidak pada tempatnya.
“Gue
nggak ngomong sama lo.” cibirku sinis.
“Nggak
usah dipikirin.” Zane menyahut singkat tanpa menemui mataku.
***
Jam
perwalian berakhir dengan sangat lambat. Selama satu jam penuh kami hanya mendengarkan
ceramah Pak Har yang sangat membosankan. Untunglah setelah ini adalah pelajaran
melukis sehingga kami bisa mengistirahatkan otak sekaligus telinga yang sudah
panas.
Begitu
banyak anak-anak cowok yang berusaha mendekati dan mengerubungi Zane untuk mengajaknya
berteman. Sedangkan anak-anak cewek menonton mereka dari kejauhan sambil
senyum-senyum nggak jelas.
Norak
banget, deh. Paling-paling mereka cuma berusaha memanfaatkannya untuk mencari
ketenaran. Kau tahu lah, kalau kau berteman atau berpacaran dengan orang
ganteng, pasti namamu akan ikut disebut-sebut orang juga. Atau kalau beruntung,
banyak orang akan mulai melihatmu dari sisi positifmu.
Tiba-tiba
Zane berdiri dari tempatnya lalu meninggalkan mereka begitu saja secara
mengejutkan. Tentu saja aksinya ini memancing tatapan-tatapan dan
bisikan-bisikan negatif dari mereka.
Okay... Time to go. Kukeluarkan kuas, cat, dan palet
dari tasku lalu menghampiri Abi yang masih menelungkupkan wajah di antara
lipatan tangan di meja seberang.
“Bangun,
woi.” seruku sambil menjawil kepalanya.
“ADUH!
SAYA NGGAK TIDUR PAK, SUER.” serunya dengan suara lantang sambil mengacungkan
jari telunjuk dan tengah.
Seketika
itu juga seluruh pasang mata terpaku padanya. Semua anak dalam kelas pun tertawa
serentak.
As expected from Abi. Tidak hanya memiliki paras cantik
dengan hidung mancung, kulit putih, alis hitam tebal di atas mata hitam bulat
dan rambut hitam berponi idaman, Abi juga memiliki sifat lugu yang sesekali
menghibur kami semua. Ia termasuk anak yang pandai di kelas dan aktif berorganisasi
di dalam maupun luar sekolah. Ia juga seorang pemain biola handal sekaligus
anggota tim dance sekolah yang sangat
membanggakan. Tak heran kalau banyak laki-laki yang menginginkan jadi tambatan
hatinya. Sayangnya, Abi menutup diri untuk semua laki-laki yang menginginkan
menjalani hubungan romansa dengannya sebab adanya trauma akan mantannya.
“Dasar
tukang ngigo.” kataku sambil menonyor pelan kepalanya.
“Lo
sih, ngagetin!” protesnya sambil mengaduk-aduk isi tasnya.
“Siapa
suruh tidur.” cibirku.
“Yuk,
ah.” katanya setelah menemukan alat gambarnya.
“Heh,
cebol. Kalo jalan cepetan dikit, dong! Jalan kok kayak siput.” kata Gill dari
belakang saat kami sudah berjalan beriringan di lorong depan kelas melukis.
“Jalanan
segede gini lo milih lewat belakang gue, yang salah siapa coba.” sahutku ketus.
“Ah!
Lama.” dengus Gill sambil menerobos dari tengah-tengah kami, membuatku hampir terjungkal
ke depan.
“Dasar
resek!” seruku kesal.
Tapi
sepertinya ia tidak menggubris seruanku lantaran sedang sibuk berbincang dengan
Toby, sahabat karibnya dari SMP. Toby juga termasuk cowok berparas di atas
rata-rata, rambutnya ditata meniru artis Korea—dipotong cepak tapi berponi.
Hidungnya juga mancung, kulitnya putih dan sangat terawat, tubuhnya berisi
dengan tinggi sekitar 175 sentimeter. Pokoknya ia seperti diimpor langsung dari
salah satu boyband Korea, sebelas dua
belas dengan Gill. Tapi, kepribadian mereka bertolak belakang. Toby adalah anak
pendiam dan tidak suka berbuat onar. Ia lebih introvert dan lumayan dingin pada orang-orang di sekitarnya.
Aku
langsung mengambil tempat di tengah-tengah Abi dan Gill. Toby duduk di sebelah kanan
Gill dan Zane ada di depanku—di tempat paling depan. Raut wajahnya datar,
tampak tidak peduli dengan apa yang tengah terjadi di sekitarnya.
“Yak
Anak-Anak.” kata Pak Supardi dengan suara sengaunya. “Hari ini kalian
menggambar tema bebas.” Setelah mengucapkan enam kata tersebut, ia langsung
keluar dari kelas—kuduga mau makan soto di kantin atau hibernasi di ruang guru.
Sangat
berbeda dengan Pak Har, Pak Supardi pantas dinobati sebagai guru termalas yang
pernah ada. Ia jarang sekali menjelaskan materi. Setiap pertemuan ia hanya
menyampaikan sepatah-dua patah kata lalu kembali bermalas-malasan di kursi guru
atau keluar untuk hibernasi di kantor atau makan di kantin. Darimana ia
mendapat nilai murid-muridnya pun masih menjadi sebuah misteri. Kami tidak
pernah mengumpulkan tugas, tapi selalu muncul satu angka di rapor. Kunci
mendapatkan nilai baik cuma tetap ada dalam ruangan dan membawa alat gambar.
Oleh karena itu banyak anak-anak yang memanfaatkan pelajaran seni untuk bermain
kartu, mojok di ujung ruangan, dandan sampai make-up setebal bencong di perempatan, membaca novel, atau
melakukan hal-hal lainnya.
Tapi
berbeda denganku. Pelajaran seni biasa kugunakan untuk benar-benar melukis
sesuatu. Bukan, bukannya aku sok rajin atau mau mencuri perhatian Pak Supardi,
tapi melukis termasuk salah satu hobiku. Sejak masih SD hingga sekarang, aku
selalu meluapkan emosiku melalui gambaran.
Aku
mengedarkan pandangan sejenak, mencari-cari ide tentang gambar apa yang akan
kubuat hari ini. Pandanganku akhirnya terhenti ke arah Zane. Ia sibuk melukis.
Kuduga ia hendak membuat menara yang mirip dengan menara bata di
dongeng-dongeng.
Dunia
dongeng, huh?
Setelah
menatap lembaran putih yang disangga oleh kayu di hadapanku beberapa saat,
akhirnya aku mulai menuangkan cat air pada palet gambarku. Perlahan-lahan kugerakkan
kuas, menari-nari di atas kertas putih, mewarnainya dengan warna biru-putih.
Beberapa
puluh menit kemudian gambarku pun setengah jadi. Sebuah danau tenang di antara
hutan, seperti latar tempat pada kisah Bambi milik Walt Disney. (Ya, bisa dibilang aku suka kancil cilik satu ini)
Kulirik
Zane yang masih sibuk dengan kuasnya di hadapanku. Setelah membuat menara, ia menggambar
backgroundnya berupa pepohonan. Di
ujung hutan kecil tersebut, terlihat beberapa genting rumah.
“Bagus
juga, tuh.” Gill tiba-tiba muncul di belakang tubuhku.
Yep.
Ini pertanda buruk. Sesuatu yang buruk akan terjadi dalam hitungan satu…, dua…,
tiga...,
Ia
sudah membawa kuas yang ujungnya sudah dicelupkan ke warna hitam dengan jarak
hanya beberapa centi dari lukisanku.
“Tapi
kurang nih, gue tambahin setan ya, biar horror
kayak muka lo.”
“Minggir,
nggak!?” sentakku sambil mendorong tangannya menjauh.
Bagus.
Bukannya memperbaiki keadaan, aku malah membuatnya semakin parah. Akibat
kudorong kuat-kuat ke depan, tangan Gill mencoreng bagian punggung Zane dan membentuk
sebuah garis yang cukup panjang.
“Bukan
salah gue, Emma yang ndorong.” ujar Gill tanpa merasa bersalah sambil
mengangkat kedua tangannya.
Dia
sudah merencanakan ini.
“S-Sorry.” kataku sambil berdiri dari kursi dan menggigit bibir
bawahku. “Biar gue cariin lap apa baju ganti.”
“Nggak
usah.” Zane menyahut datar sebelum keluar dari ruangan, meninggalkan kelas
dalam keheningan.
Apa
dia marah?
“Biarin
aja.” kata seseorang dari belakang saat melihat kaki kananku melangkah. “Malah
bagus dia introvert, jadi kita punya
alesan lain buat ngejauhin dia.”
Setelah
berbalik, baru kuketahui kalau sumber suara barusan adalah Lia, stalker paling handal yang punya
berbagai informasi akurat. Dia sering disebut sebagai informan sekolah, gosip A
sampai Z, dari anak yang populer sampai yang nerd sekalipun, dia pasti tahu.
“Emang
orang pendiem harus kita kucilin?” belaku.
“Zane
bukan cuma pendiem. Dia punya latar belakang yang nggak bakal dipercaya siapa
pun.” sergahnya sambil menyisir rambut pendek hitamnya dengan tangan. “Dia
pernah dipenjara gara-gara mbunuh orang di Inggris. Gara-gara itu dia pindah ke
Indo.”
Hah?
Pasti dia cuma bercanda kan?
“Nggak
mungkin! Tau darimana lo?” bantah Lisa, salah seorang dari cewek-cewek yang
begitu histeris soal Zane sejak pertama melihatnya.
“Ya
terserah mau percaya ato nggak. Gue cuma ngasih tau apa yang gue pikir perlu diumumin.”
sahutnya sambil mengendikkan bahu. “Jangan berani-berani ngungkit masalah ini
di depannya, apalagi ngasih tau kalo gue sumbernya.” ancamnya sambil
memicingkan mata sebelum kembali duduk diam di antara teman-temannya.