Posted by : Viona Angelica
Wednesday, 16 November 2016
Jadi... Mohon maap yang sebesarnya atas keterlambatan ngepost ini T^T
Reader 1 : "Dari mana aja, lo? Udah mau Jumat lagi, tau."
Reader 2 : "Iya nih, tambah lama tambah nggak konsisten banget."
Viona : "Maap TT Ini tugas sama ulangan sekolah lagi numpuk banyak bangeeet."
Reader 3 : "Alaa Alay! Alesan aja teruss, bilang aja males ngepost."
Reader 1 : "Iya, tuh! Pasti cuma alesan aja."
Viona : "Enggak, serius... Besok-besok diusahain nggak lagi deh, post kali ini sekalian buat minggu ini ya TT"
#IniAjaNgepostDariKomputerSekolahanPasJamTIK
Back to [Prologue] [Satu] [Dua]
(Mohon Abaikan Kealayan dan Kenggak jelasan dalam Chapter berikut)
TIGA
Semenjak
kejadian di ruang musik, Zane tidak mengatakan apa pun. Ia membuang muka setiap
kali bertemu mata dengan siapa pun, dan ia juga bersikap dingin pada semua
orang seolah ia tidak peduli akan siapa pun kecuali dirinya sendiri.
Bel
istirahat akhirnya berbunyi, menandakan penderitaan kami akan ditunda sepanjang
lima belas menit ke depan. Dalam sekejap kelas langsung kosong, hanya
tertinggal aku, Abi, dan Zane.
“Enaknya
makan apa ya hari ini.” Abi menyeletuk sambil melirik ke langit-langit. “Sate
mungkin enak kali ya, tapi gue bosen. Soto… Nggak deh. Ayam goreng…” Ia terus
mengoceh pada dirinya sendiri.
Kuharap
aku bisa fokus akan apa yang ia ocehkan, tapi sayangnya mataku terus melirik ke
sosok yang tengah duduk menyendiri di meja paling belakang. Di sana duduk Zane
yang masih mengenakan baju putihnya yang sudah tercoreng dengan noda merah.
Aku
belum sempat minta maaf soal kejadian di ruang seni, mungkin dia masih merasa
kesal. Sebenarnya aku ingin segera menyelesaikan masalah ini tapi perkataan Lia
terus terngiang dalam benakku bagai kaset rusak yang diulang-ulang.
“Ma?”
panggil Abi saat menyadari pikiranku ada di tempat lain.
“Eh.
Sorry-sorry, kenapa?” tanyaku sambil
mengubah pandangan ke arahnya.
“Lo
kepikiran soal dia ya?” bisiknya sambil mendekatkan wajahnya padaku.
“Enggak
kok, gue cuma… Cuma…” Aku berusaha mencari kata yang tepat tapi kata itu tak
kunjung muncul dalam otakku.
“Gue
paham kok.” potongnya disertai seulas senyum. “Gue pikir, Zane nggak mungkin
jadi pembunuh. Masa ada orang ganteng jadi kriminal?”
“Ngaco,
lo! Emang apa hubungannya sama ganteng.” sahutku sambil terkekeh pelan.
Kalimat
Abi seakan memompa keberanianku hingga mencapai atas maksimum. Kuhirup napas
panjang, lalu kudekati sosok yang masih menyendiri di pojok ruangan itu.
“Hai.
Soal tadi, gue minta maaf ya.” Aku berusaha terdengar setenang mungkin.
“Nggak
perlu dipikirin, bukan kamu kok yang salah.” sahutnya masih dengan nada datar
yang sama.
“Kalo
gitu gue minta maaf atas nama Gill, deh.”
“Nggak
bisa. Dia yang salah kok kamu yang minta maaf? Lagipula, gue udah merencanakan
tindakan balas dendam.” timpalnya dengan nada dingin sambil menggenggam sebuah cutter.
Seekor
serangga seakan baru saja melintas di punggungku, membuat bulu-bulu kudukku
berdiri tegak. Tanpa kusadari aku sudah menggigit bibir bawahku sendiri dan
bersiap ngacir kalau-kalau ada serangan mendadak.
“Bercanda
doang.” ucapnya datar sambil tertawa kecil.“Nggak usah seserius itu. Bukan
masalah besar kok, jadi nggak usah dipikirin.”
Aku
memaksakan seulas senyum. Dia benar-benar punya selera humor yang buruk, bahkan
mungkin lelucon barusan bisa membuatnya diseret warga ke kantor polisi untuk
diamankan.
“Er…
Jadi, lo nggak ke kantin?” tanyaku.
“Nggak
deh, aku lupa bawa dompet.” jawabnya jujur.
“Gue
traktir deh.” Tiga kata yang entah datang darimana itu tiba-tiba meluncur dari
mulutku
“Eh?
Nggak deh, makasih.”
Yaudah,
gue juga nggak maksa, malah kebeneran lo gamau gue traktir, jadi gue bisa menghindari
bokek mingguan. Cibirku dalam hati.
“Yaudah,
gue dulua—“
Kruyuk…
Perutnya
berbunyi hingga kedua telingaku dapat mendengar bunyinya.
“Nggak
usah sungkan, anggep aja welcome feast
kecil-kecilan gara-gara udah pindah ke Indo.” kataku pada akhirnya.
“Yaudah
deh, aku nggak bisa nolak, kan?” ujarnya dengan senyum kecut, menampakkan
lekukan di pipi kirinya yang menambah kesan manis di wajahnya.
“Gue
mau ditraktir juga dong…” goda Abi.
“Kalo
lo sih bayar sendiri.” cibirku sambil membalikkan badan.
Kami
bertiga akhirnya berjalan beriringan menuju kantin yang ada di lantai bawah.
Tempat itu begitu ramai. Ke mana pun mata memandang hanya ada lautan manusia
yang menjejali ruangan sebesar 5 kali 3 meter itu hingga hampir meledak.
“Emang
kantin selalu sepenuh ini, ya?” Zane menyeletuk dengan nada malas.
“Sebenernya
sih, kalo kita dateng lebih cepet, nggak bakal sepenuh ini.” timpal Abi tanpa
menemui matanya.
“Lo
mau makan apa?” Aku mengalihkan pandangan pada Zane.
“Kamu
sendiri?”
“Entahlah.
Paling bakso lagi, nyari yang deket sama cepet.”
“Sama
deh kalo gitu. Abigail gimana?”
“Gue
ngikut. Panggilnya Abi aja btw.”
Pada
akhirnya kami menghampiri etalase di depan kantin untuk memesan tiga mangkok
bakso. Awalnya kami agak kesulitan menemukan tempat duduk, tapi berkat gossip yang diedarkan Lia waktu itu, ada
sekelompok anak yang langsung minggir saat melihat Zane tengah mencari-cari
tempat duduk.
Kami
pun menikmati bakso daging itu dengan tenang sebelum sesosok setan datang dan
membuat keributan.
“Eh,
Emma! Kebetulan banget, nih.” seru Gill sambil duduk menjejeriku, berhadapan
dengan Abi. “Si cowok sinting perusak kesenengan juga ada ya.”
“Gue
nggak dianggep.” Abi menyeletuk sambil menyeruput kuah baksonya.
“Hai,
Bi.” Gill melambaikan tangan sok akrab.
“Jangan
bikin keributan lagi, plis.” Toby nimbrung sambil menjejeri Gill.
“Gue
cuma mau nimbrung kok, nggak bakalan bikin onar, beneran.” ujarnya.
“Yaudah,
terserah lo aja.” sahutku acuh tak acuh.
“Eh!
Itu apa!?” Gill tiba-tiba menunjuk ke arah kantin.
Dengan
spontan, kami semua menoleh ke arah yang ditunjuk olehnya.
“Nggak
ada apa-apa kok.” sahutku sewot sambil menoleh kembali ke arahnya.
“Tadi
ada sesuatu di rambut cewek di situ, seriusan. Ih jijik banget deh pokoknya.” timpalnya
dengan gaya yang dibuat seperti bencong.
“Yaya,
sekalian aja bilang ada U.F.O mendarat di dalem, atau ada serangan zombie mendadak trus kita harus
dievakuasi.” ujarku sinis sambil menusuk bakso dalam mangkok dengan garpu.
Baru
kuangkat garpu tersebut, Zane langsung berseru, “Aku saranin kamu nggak makan
bakso itu, tadi Gill naruh sesuatu di sana.”
Oh,
aku terkena tipuan anak SD lagi rupanya.
“HEH!”
Gill menyalak garang sambil menggebrak meja, membuat anak-anak di sekitar kami
menoleh heran. “Lo emang bener-bener perusak kesenengan orang, ya?”
“Kamu
bilang ngeracuni orang pake obat pencahar itu kesenengan?” Zane menyahut sambil
mengangkat satu alis.
“Obat
pencahar? Lo gila?” semburku.
“Gill
lama-lama kelewatan, deh.” Abi menimbrung sambil masih asyik dengan baksonya..
“Masih
mending gue cuma ngasih obat pencahar.” Nadanya meninggi. “Daripada gue masukin
sianida dan jadi pembunuh kayak—“ Toby langsung menyikut bahu Gill pelan. “Never mind.”
Benar-benar
deh. Sepertinya mulut anak ini perlu dilakban, diisolasi, lalu digembok
rapat-rapat supaya tidak bocor.
“Y-Yaudah!
Gue pergi dulu!” Gill dan Toby langsung meninggalkan kami bertiga dalam
keheningan.
“Anak
itu kenapa sih?” Zane mengangkat topik baru.
“Tauk,
deh. Nggak usah dianggep aja, tuh anak emang kurang satu ons.” jawabku sarkastik.
“Eman deh bakso gua.”
“Siapa
suruh nggak mau nraktir gue.” Abi menyeletuk.
“Apa
hubungannya Abi sayang?” cibirku sambil mengernyitkan dahi.
“Ya
ada pokoknya.” timpalnya sekaligus mengakhiri perbincangan kami.[]